Ini dia Presiden Republik Indonesia pertama hasil pilihan rakyat
secara langsung. Lulusan terbaik Akabri (1973) yang akrab disapa SBY dan
dijuluki ‘Jenderal yang Berpikir’, ini berenampilan tenang, berwibawa
serta bertutur kata bermakna dan sistematis. Dia menyerap aspirasi dan
suara hati nurani rakyat yang menginginkan perubahan yang menjadi kunci
kemenangannya dalam Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004.
Berpasangan dengan Muhammad Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden,
paduan dwitunggal ini menawarkan program memberikan rasa aman, adil dan
sejahtera kepada rakyat. Pasangan ini meraih suara mayoritas rakyat
Indonesia (hitungan sementara 61 persen), mengungguli pasangan Megawati
Soekarnoputri – KH Hasyim Muzadi.
Popularitas dengan enampilan yang tenang dan berwibawa serta tutur
kata yang bermakna dan sistematis telah mengantarkan SBY pada posisi
puncak kepemimpinan nasional. Penampilan publiknya mulai menonjol sejak
menjabat Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999) dan semakin berkibar
saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman
Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).
Ketika reformasi mulai bergulir, SBY masih menjabat Kaster ABRI. Pada
awal reformasi itu, TNI dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY
semakin menonjol sebagai seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami
pikiran yang berkembang di masyarakat dan tidak membela secara buta
institusinya. “Penghujatan terhadap TNI itu menurut saya tak lepas dari
format politik Orde Baru dan peran ABRI waktu itu,” katanya. Maka, Tokoh
Indonesia DotCom menjulukinya sebagai ‘mutiara di atas lumpur’.
Banyak orang mulai tertarik pada sosok militer yang satu ini. Pada
saat institusi TNI dan oknum-oknum militernya dibenci dan dihujat, sosok
SBY malah mencuat bagai butiran permata di atas lumpur. (Hampir sama
dengan pengalaman Jenderal Soeharto, ketika enam jenderal TNI diculik
dalam peristiwa G-30-S/PKI, ‘the smiling jeneral’ itu berhasil tampil
sebagai ‘penyelamat negeri’ dan memimpin republik selama 32 tahun.
Sayang, kemudian jenderal berbintang lima ini terjebak dalam budaya
feodalistik dan kepemimpinan militeristik. Pengalaman Pak Harto ini,
tentulah berguna sebagai guru yang terbaik bagi pemimpin nasional negeri
ini).
Lulusan Terbaik
Lulusan Terbaik
Siapakah Susilo Bambang Yudhoyono yang berhasil meraih pilihan suara
hati nurani rakyat pada era reformasi dan demokratisasi itu?
Pensiunan jenderal berbintang empat berwajah tampan dan cerdas, ini
adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotji dan Sitti Habibah. Darah
prajurit menurun dari ayahnya R. Soekotji yang pensiun sebagai Letnan
Satu (Peltu). Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang
pendiri Ponpes Tremas, mendorongnya menjadi seorang penganut agama Islam
yang taat. Dalam dirinya pun mengalir kental jiwa militer yang
relijius.
Selain itu, lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil) angkatan 1973,
ini juga memiliki garis darah biru, sebagai keturunan bangsawan Jawa
yang mengalir dari dua arah dan berujung pada Majapahit dan Sultan
Hamengkubuwono II. Kakeknya dari pihak ayah, bernama R. Imam Badjuri,
adalah anak dari hasil pernikahan Kasanpuro (Naib Arjosari II – darah
biru Majapahit) dan RM Kustilah ( sebagai turunan kelima trah Sultan
Hamengkubuwono II bernama asli RA Srenggono). Bahkan dalam silsilah
lengkapnya, SBY juga memiliki garis keturunan dari Pakubuwono.
Kendati SBY anak tunggal, dia hidup dengan prihatin dan kerja keras.
Pada saat sekolah di Sekolah Rakyat Gajahmada (sekarang SDN Baleharjo
I), SBY tinggal bersama pamannya, Sasto Suyitno, ketika itu Lurah Desa
Ploso, Pacitan. Prestasinya saat SR sudah menonjol.
Dalam proses pengasuhan yang berdisiplin keras, pada masa kecil dan
remajanya, SBY juga mengasah dan menyalurkan bakat sebagai penulis
puisi, cerpen, pemain teater dan pemain band.
Pria tegap yang memiliki tinggi badan sekitar 175 cm, kelahiran
Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949, ini senang mengikuti kegiatan
kesenian seperti melukis, bermain peran dalam teater dan wayang orang.
Beberapa karya puisi dan cerpennya sempat dikirimkan ke majalah
anak-anak waktu itu, misalnya ke Majalah Kuncung. Sedangkan aktivitas
bermain band masih dilaksanakan hingga tingkat satu Akabri Darat sebagai
pemegang bas gitar. Sesekali masih juga menulis puisi.
Di samping kesenian, ia juga menyukai dunia olah raga seperti bola
voli, ia senang travelling, baik jalan kaki, bersepeda atau
berkendaraan. Sedangkan olah raga bela diri hingga saat ini masih aktif
dilakukan.
Tekadnya menjadi prajurit mengental saat kelas V SR (1961) berkunjung ke AMN di kampus Lembah Tidar Magelang.
“Saya tertarik dengan kegagahan sosok-sosok taruna AMN yang berjalan
dan berbaris dengan tegap waktu itu. Ketika rombongan wisata singgah ke
Yogyakarta, saya sempatkan membeli pedang, karena dalam bayangan saya,
tentara itu membawa pedang dan senjata,” kenang SBY.
Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk
mewujudkan cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir
tahun 1968. Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung
masuk Akabri. Maka dia pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin
Institut 10 November Surabaya (ITS).
Namun kemudian, SBY malah memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah
Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Selagi belajar di PGSLP
Malang itu, ia pun mempersiapkan diri untuk masuk Akabri.
Tahun 1970, dia pun masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah
lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus
Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa
pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol.
Terbukti, dia meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan
menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.
Saat menempuh pendidikan di Akademi Militer, itu, SBY berkenalan
dengan Kristiani Herrawati, putri Sarwo Edhie. Saat itu, Mayjen Sarwo
Edhi Wibowo, menjabat Gubernur Akabri. Perkenalan terjadi saat SBY
menjabat sebagai Komandan Divisi Korps Taruna.
Perkenalan itu berlanjut dengan berpacaran, bertunangan dan
pernikahan. Mereka dikarunia dua orang putra Agus Harimurti Yudhoyono
(mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun
2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro
Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian
menekuni ilmu ekonomi).
Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di
Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di
Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate,
Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di
Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985),
Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff College di
Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari
Webster University AS.
Karir Militer
Dalam meniti karir, SBY sangat mengidolakan Sarwo Edhi yang tidak lain adalah bapak mertuanya sendiri. Dalam pandangannya, Sarwo Edhi adalah seorang prajurit sejati. Jiwa dan logika kemiliterannya amat kuat. Selain belajar strategi, taktik, dan kepemimpinan militer, mertuanya itu amat sederhana dalam hidup dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip yang diyakini.
Dalam meniti karir, SBY sangat mengidolakan Sarwo Edhi yang tidak lain adalah bapak mertuanya sendiri. Dalam pandangannya, Sarwo Edhi adalah seorang prajurit sejati. Jiwa dan logika kemiliterannya amat kuat. Selain belajar strategi, taktik, dan kepemimpinan militer, mertuanya itu amat sederhana dalam hidup dan teguh dalam memegang prinsip-prinsip yang diyakini.
Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai
Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi
Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun
1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit.
Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade
Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum
dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon
Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara
328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak.
SBY, sebagai komandan peleton, giat berlatih bersama anak buahnya
sehingga peletonnya sering kali menjadi andalan bagi Kompi A dalam
setiap kegiatan latihan bersama kompi-kompi lainnya di tingkat batalyon.
Selain itu, ia juga mendapat tugas tambahan memberi les pengetahuan
umum dan bahasa Inggris bagi semua anggota batalyon.
Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan
lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di
Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia,
1975.
Kemudian sekembali ke tanah air, ia memangku jabatan Komandan Peleton
II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad)
tahun 1976-1977. Dia pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur.
Sepulang dari Timor Timur, ia menjadi Komandan Peleton Mortir 81
Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, ia ditempatkan sebagai
Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan
Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD
(1981-1982).
Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan
sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, ia mengikuti
Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus
praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg,
AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan
Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando
Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan dia menjabat Komandan Sekolah
Pelatih Infanteri (1983-1985)
Lalu dia dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988)
dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti
pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan
keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989.
Dia pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di
Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat
naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat
menjabat Panglima ABRI, ia ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi
Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993).
Lalu, dia kembali bertugas di satuan tempur, diangkat menjadi
Komandan Brigade Infantri Lintas Udara (Dan Brigif Linud) 17 Kujang
I/Kostrad (1993-1994) bersama dengan Letkol Riyamizard Ryacudu. Kemudian
menjabat Asops Kodam Jaya (1994-1995) dan Danrem 072/Pamungkas Kodam
IV/Diponegoro (1995).
Tak lama kemudian, dia dipercaya bertugas ke Bosnia Herzegovina untuk
menjadi perwira PBB (1995). Ia menjabat sebagai Kepala Pengamat Militer
PBB (Chief Military Observer United Nation Protection Force) yang
bertugas mengawasi genjatan senjata di bekas negara Yugoslavia
berdasarkan kesepakatan Dayton, AS antara Serbia, Kroasia dan Bosnia
Herzegovina.
Setelah kembali dari Bosnia, ia diangkat menjadi Kepala Staf Kodam
Jaya (1996), hanya sekitar lima bulan. Saat itu Pangdam Jaya dijabat
Mayjen TNI Sutiyoso, yang menggantikan Mayjen TNI Wiranto yang diangkat
menjadi Panglima Kostrad. Pada saat menjabat sebagai Kasdam Jaya,
terjadi peristiwa 27 Juli 1996, yang menyeret namanya menjadi salah
seorang saksi dalam pengungkapan kasus tersebut.
Kemudian dia menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) sekaligus
Ketua Bakorstanasda dan Ketua Fraksi ABRI MPR (Sidang Istimewa MPR 1998)
sebelum menjabat Kepala Staf Teritorial (Kaster) ABRI (1998-1999).
Penampilan publiknya mulai menonjol saat menjabat Kepala Staf Teritorial
ABRI tersebut.
Pada masa menjabat Kaster ABRI ini reformasi mulai bergulir. TNI
dihujat habis-habisan. Pada saat itu, sosok SBY semakin menonjol sebagai
seorang Jenderal yang Berpikir. Ia memahami pikiran yang berkembang di
masyarakat dan tidak membela secara buta institusinya. Dia pun berperan
banyak dalam upaya mereposisi peran TNI (ABRI). Rafermasi TNI dimulai
pada masa ini.
Karir Politik
Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000,
saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya
menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan
Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat letnan
jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.
Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai
Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam untuk
menggantikan Jenderal Wiranto yang terpaksa mengundurkan diri sebagai
Menkopolsoskam.
Popularitasnya semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam
(Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam
(Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).
Tugas terberatnya sebagai Menko Polkam adalah mengembalikan
kepercayaan masyarakat dan dunia bahwa keamanan di Indonesia dapat
diwujudkan. Faktor keamanan inilah yang sering dijadikan investor asing
untuk membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Sedangkan dari
dalam negeri, masyarakat sering kali merasa was-was dengan berbagai
gangguan seperti teror bom yang kerap terjadi.
Persoalan lainnya adalah, upaya menghentikan pertikaian di daerah
konflik, yang secara perlahan memperlihatkan kemajuan. Namun, karena
besarnya masalah yang dihadapi, keberhasilan tugasnya itu sering tidak
ditanggapi serius. Masih banyak pekerjaan besar menunggu untuk segera
diselesaikan.
Menghadapi tugas berat, ternyata menjadi bagian sejarah hidup SBY
yang sebelum menjadi menteri sempat diprediksi bakal menjadi orang nomor
satu di lingkungan militer. Ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid
berkuasa, ia sempat diberi tugas untuk melobi keluarga mantan Presiden
Soeharto. Maksud langkah persuasif yang dilakukannya itu agar keluarga
cendana bersedia memberikan sebagian hartanya kepada rakyat dan bangsa.
Khususnya untuk membawa pulang harta keluarga Soeharto yang diperkirakan
masih tersimpan di luar negeri. Padahal saat itu masyarakat tengah
menunggu dengan seksama hasil peradilan orang kuat Orde Baru tersebut.
Presiden Wahid pada awal tahun 2001 pernah memintanya untuk membentuk
Crisis Centre. Dalam lembaga nonstruktural ini Presiden Wahid meminta
Yudhoyono menjabat sebagai Ketua Harian dan menempatkan pusat informasi
atau kegiatan (operation centre) di kantor Menko Polsoskam. Lembaga baru
ini berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Wahid dalam
menjawab berbagai persoalan. Termasuk di antaranya sikap Kepala Negara
dalam merespon pemberian dua memorandum oleh DPR.
Kisah ketika dia menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) mengukir kisah tersendiri.
Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan jajaran petinggi TNI lainnya, ia meminta Gus Dur mengurungkan niatnya.
Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan jajaran petinggi TNI lainnya, ia meminta Gus Dur mengurungkan niatnya.
Puncaknya, pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak
merekomendasikan rencana Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit
Presiden. Bahkan tidak bersedia melaksanakan Maklumat Presiden yang
menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk mengambil langkah-langkah
yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan, ketertiban dan
hukum.
Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam
pada 1 Juni 2001, kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit.
Ketika ia ditawari jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri
namun ditolaknya.
Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan
memperebutkan jabatan Wakil Presiden yang lowong setelah Megawati
Soekarnoputri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing dengan Hamzah Haz
dan Akbar Tandjung.
Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya
menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun tampak menjalankan
tugasnya dengan baik. Salah satu pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan
pemberlakuan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam pada 19 Mei 2003, serta proses penyelesaian konflik Ambon dan
Poso.
Hal itu sangat menguntungkan SBY yang sudah berancang-ancang untuk
merebut kursi presiden. Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama
kali dia masuk bursa calon presiden, ketika Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia menimangnya menjadi salah satu kandidat calon
presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat yang dibidani dan
didirikan bersama beberapa koleganya menyebutnya sebagai calon
presiden, bukan calon wakil presiden.
Lalu iklan damainya muncul di berbagai stasiun televisi. Ia pun
menjawab pertanyaan wartawan yang menanyakan soal tidak dilibatkannya
dia dalam beberapa kegiatan kabinet yang menyangkut masalah politik dan
keamanan. Lalu, suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas menyebutnya
kekanak-kanakan karena dinilai melapor kepada wartawan bukan kepada
presiden (1/3/2004). Ia pun beruntung karena pers dan beberapa pengamat
membangun opini bahwa ia sedang ditindas oleh Taufik Kiemas, suami
Megawati.
Dalam pada itu, dua kali rapat kordinasi bidang Polkam batal
dilakukan karena ketidakhadiran para menteri terkait. Tampaknya para
menteri terkait tak lagi mempercayai dan menurutinya. Lalu pada 9 Maret
2004, dia pun menyurati Presiden Megawati mempertanyakan kewenangannya
sekaligus minta waktu bertemu. Namun, Presiden tidak menjawab surat itu.
Mensesneg Bambang Kusowo kepada pers mengatakan tidak seharusnya
seorang menteri (pembantu presiden) mesti membuat surat meminta bertemu
dengan presiden. Dia pun diundang mengahadiri rapat menteri terbatas.
Tapi ia tidak datang.
Ia merasa suratnya tak ditanggapi. Lalu pada 11 Maret 2004, ia
memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam karena merasa
kewenangannya sebagai Menko Polkam telah diambil-alih oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri. Pada situasi itu, M. Jusuf Kalla, yang menjabat
Menko Kesra, menemuinya. Lalu, malam harinya, di sebuah hotel, ia
bertemu Abdurrahman Wahid yang diisukan sudah sejak beberapa waktu
menimangnya menjadi calon presiden dari PKB.
Jenderal yang simpatik, tampan, mudah senyum dan memikat banyak
perempuan ini, ketika mengumumkan permintaan pengunduran dirinya,
mengatakan “Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada
partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai
lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya
bersedia.”
Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan
yang elegan. Dalam perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin
tampak elegan baik dalam bertutur maupun bersikap. Sikap itu terlihat
dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung menantu
Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo itu.
Langkah pengunduran diri ini dinilai berbagai pihak membuatnya lebih
leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi
puncak kepemimpinan nasional. Polling TokohIndonesia DotCom
menempatkannya sebagai calon wakil presiden yang paling puncak.
Dwitunggal SBY-JK
Proses pengunduran dirinya yang terkesan akibat tersisihkan dalam
Kabinet Megawati telah mengangkat populeritasnya. Popularitasnya semakin
menonjol. Ia seorang yang beruntung memiliki popularitas politik
menggungguli para tokoh poltik lainnya yang justru sebelumnya
meminangnya sebagai Calon Wakil Presiden. Popularitasnya telah
mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu legislatif 2004
yang menduduki peringkat lima dan mengantarkannya menjadi calon
presiden.
Tak lama setelah Pemilu Legislatif April 2004, SBY pun secara resmi
meminta kesediaan M. Jusuf Kalla mendampinginya sebagai Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden. Pasangan ideal ini dicalonkan Partai Demokrat,
PKPI dan PBB.
Pada Pemilu Presiden putaran pertama 5 Juli 2004, pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla ini memperoleh 39.838.184 suara (33,574
persen) diikuti pasangan Megawati-Hasyim Muzadi 31.569.104 suara (26,60
persen). Kedua pasangan itu maju ke Pemilu Presiden tahap kedua 20
September 2004.
Sementara perolehan suara tiga pasangan Capres-Cawapres lainnya yakni
di urutan tiga Wiranto-Salahuddin Wahid meraih 26,286,788 suara
(22,154%), urutan empat Amien Rais-Siswono Yudo Husodo 17,392,931suara
(14,658%), dan urutan lima Hamzah Haz-Agum Gumelar 3,569,861suara
(3,009%).
Dalam aturan main Pemilu Presiden ditetapkan jika dalam putaran
pertama tidak ada pasangan Capres-Cawapres yang meraih 50% + 1n suara
dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi dan tersebar lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, maka peraih suara terbanyak 1 dan
2 ditetapkan untuk maju ke putaran kedua Pemilu Presiden.
Hasil rekapitulasi penghitungan suara dari 32 provinsi ditambah hasil
pemilu di luar negeri, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya
121.293.844 orang, atau 78,22 persen dari pemilih terdaftar 155.048.803,
lebih rendah dari pemilu legislatif yang 84,07 persen.
Pasangan Yudhoyono-Jusuf meraih kemenangan di 17 provinsi, termasuk
di luar negeri. Pasangan Megawati-Hasyim mengungguli pasangan calon
lainnya di enam provinsi. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid meraih
kemenangan di tujuh provinsi. Pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo
meraih kemenangan di dua provinsi. Pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar
tidak memenang di satu pun provinsi.
Kemudian pada Pemilu Presiden putara kedua 20 September 2004, SBY-JK
meraih kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia dengan perolehan suara di
attas 60 persen, mengungguli pasangan Mega-Hasyim yang meraih kurang
dari 40 persen suara.
Tinggal di Istana
Menjawab pertanyaan wartawan (24/9/2004), akan tinggal di mana
setelah dilantik menjadi presiden, SBY menjawab: “Istana. Saya memilih
akan tinggal di sana setelah dilantik.” Pilihannya beserta keluarga
untuk tinggal di Istana Negara didasarkan pada alasan akan lebih efisien
dan efektif bagi pelaksanaan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan.
Menurutnya, di istana akan memudahkan pengaturan kegiatan. Tidak akan
terlalu menghambat lalu lintas, pengamanan akan lebih mudah, tamu-tamu
akan mudah pengaturan dan pendataannya, dan demi penghematan juga.
“Kalau saya tinggal di luar istana, pasti diperlukan pembangunan
sejumlah fasilitas yang sebetulnya tidak diperlukan jika saya tinggal di
istana,” katanya.